7
Sudah lama sekali aku tidak membuka album kenangan berukuran
kecil yanng ku beli saat aku lulus SMA dulu di toko ceria seharga lima ribu
rupiah. Aku meletakkan semua moment di album itu.
Beberapa foto yg paling
mewakili hidupku ku simpan dalam album itu.
Foto saat aku berkunjung ke kebun binatang ragunan bersama
adik tersayang saat aku masih menjadi guru TK. Foto kebersamaan dengan teman
sekelas sewaktu masih menjadi mahasisiwi aktif di jurusan Sastra. Foto pertama
bersama badut teletabis tokoh kesayangan
adik-adikku. Foto kebangga saat di wisuda karna seluruh keluargaku hadir dan
teman spesial yang ku anggap sedang dekat jauh-jauh dari cireon juga datang
menghadiri wisudaku. Yang moment terspesial saat aku menikah dengan teman dekat
itu.
Aku sangat suka di foto, sangat senang melihat diriku
tersenyum di gambar itu. Makanya disetiap jepretan foto aku tak pernah lupa
untuk menampilkan seyum paling termanis yang ku miliki agar abadi dalam gambar
foto. Semuanya tergambar di situ. Bagaimana ekspresiku. Bagaimana aku tersenyum
menandakan bahagia. Dan bagaimana aku menyatakan bahwa hidupku sangat bahagia.
Tapi aku tidak yakin kalau hidupku benar-benar bahagia. Bagaimana tidak... di
balik ekspresi senyum itu ada sejuta kejadian tak terungkap lewat mulut maupun
hati tak berani berkata.
Satu persatu kupandangai dan membayangkan, apa yang terjadi
dalam masa-masa itu. Foto pergi kekebun binatang bersama adik. Aku berfikir
bahwa saat itu mau apa di hidupku?. Cantik? Tidak!
Populer? Tidak! Apa yang menarik? Sampai-sampai saudara
laki-laki saja enggan memiliki saudara seperti aku.sudah terlahir sebagai gadis
yang tidak cantik sama sekali, jutek, judes, galak, suka marah dan sifat yang
tidak baik lainnya. Kata mereka aku ini “jelek”. Satu kata yang paling ku benci
di dunia ini. Sampai-sampai kenapa tercipta ada kata seperti itu.
Penampilan sangat tidak menarik. Cupu, baju lusuh karna tak
mampu beli baju baru. Beli setahun sekali pada saat lebaranpun sudah sangat
bersyukur. Tak kenal make-up, makanya melamar kerja jadi SPG yang paling mudah
saja tak pernah di terima. Padahal hanya menjadi pelayan. Tapi tidak diterima.
Ternyata jadi pelayan itu harus cantik. Aku sempat memiliki ide terlintas di
benakku. Yaitu
Opersai Plastik biar cantik. Kebanyakan nonton film Jepang dan
Korea yang rata-rata gadis muda di negara itu melakukan hal demikian demi
mendapatkan kulit putih dan wajah yang cantik.
Huh! Mesti cantik ya. Apa cantik itu penting? Ternyata
jawaban semua menyatakan Ya! Penting.
Aku tahu model baju terbaru, aku tahu trend make up di tahun
itu. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana aku bisa menjadi seperti itu. Jadi
gadis yang fashionable. Jadi gadis
cantik yang ceria. Yang ku tahu mukaku selalu di tekuk-teku meratapi kejelekan
rupaku. Kata kakak ku... “atin mau diapain aja, mau pake apa aja ya... tetep
aja jelek”. Tak ada semangat apalagi motivasi. Hidupku di masa sekolah di
habiskan dengar mendengar kata-kata yang sungguh menyakiti hati.
Ironi...benar-benar ironi hidupku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Foto kebersamaan dengan sahabat di kampus tercinta saat aku
memutuskan untuk kuliah di jurusan Sastra membawa kesan tersendiri. Aku
memiliki teman yang tulus memberi kebahagiaan yang padahal di awal kuliah
“berteman itu tidak penting karna hanya akan memperlambat jalan hidupku menuju sukses”. Aku mulai memiliki
pemikiran seperti itu pada saat jauuuuh sebelum aku berfikir ingin kuliah yaitu
mencari pekerjaan di sebuah pasar swalayan Ramayana bersama anak teman Mama.
Ukuran tinggi badanku lebih tinggi daripada dia, tapi pada saat lamaranku
hampir di terima sedang dia di tolak. Dia protes kenapa dia tidak diterima. Menjadi
pedebatan kecil saat itu sehingga menjadikan sang penerima karyawan
mengurungkan niatnya untuk tidak menerimaku dengan alasan “oh iya, kami
melakukan kesalahan. maaf” mulai saat itu kemanapun aku pergi aku tak butuh ditemani
ataupun “pergi bersama” yang katanya lebih indah justru menghambat jalan
suksesku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di kampus. Lambat laun aku mulai memiliki rasa arti dari
kebersamaan. Teman-teman kelas yang begitu care
apabila salah satu diantara kita tidak hadir di kelas. Teman-teman yang selalu
mengajak makan bersama walaupun tidak memiliki uang untuk membeli makanan di
kantin. Teman-teman yang membuat senyumku mengembang kembali bahwa kebersaman
itu memang indah.
Aku tak berfikir kalau... apakah aku akan memiliki seorang
kekasih. Pacar hanya menghambat konsentrasi belajarku. Tapi, iri juga kalau
melihat teman kelas itu mulai memiliki pasangan yang membiayai kebutuhan pulsa,
makan di kantin, dan membelikan pakaian tiap bulannya. Kalau aku memiliki pacar
apa aku bisa seperti itu juga? Jujur saja. Bila aku bisa seperti itu
kemungkkinan besar aku bisa membeli barang yang kusuka tanpa harus
menungu-nunggu gajian dari ngajar Bimbel.aku pun bisa tidak kekurangan uang
kan??
Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Melihat kesedihan teman
kelas bila sedang cekcok dengan pacarnya seperti seorang istri yang terancam akan diceraikan
suaminya. Kasihan sekali. Tapi mau menunggu bagaimanapun itu tak akan terjadi.
Tak ada yang berminat denganku. Lagi-lagi memang harus cantik ya! Supaya dapet
pacar. Hah! Kalau gitu memang tak usah punya pacar kalau mau lulus dengan nilai
baik.
Sepertinya teman kelasku ini, sangat baik. Mereka berusaha
menjadi mak comblang, mengenalkan aku
dengan beberapa laki-laki di luar kampus. Kunyatankan dalam hatiku untuk
berteman saja. Jadilah tak ada yang memang jadi pacar semuanya adalah teman
baik.
Disinilah aku mulai sadar. Menarik laki-laki ternyata tidak
melulu harus cantik yah? Bisa juga dengan menarik perhatian mereka dengan sedikit
kepintaran. Aku mulai lebih konsentrasi belajar di kampus. Memahami semua
materi. Menjadi guru bimbel ternyata tidak sia-sia. Yang tadinya aku pendiam
lambat laun aku mulai pandai berbicara di depan teman-teman. Disinilah aku
mulai disukai, disenangi oleh teman-temanku. Dan menganggap bahwa aku ini
mahasiswi pintar. Mereka ingin belajar banyak dariku. Menggali informasi lebih
banyak dariku tentang berbagai hal. Dengan begini aku juga bisa tampil cantik.
Aku mulai sadar bahwa cantik itu tidak hanya dari wajah,
tapi bisa juga dari hati, dari bahasa, dari penampilan dan dari perilaku. Aku
mecoba untuk berubah sedikit demi sedikit. Sudah memiliki uang dari penghasilan
ngajar bimbel aku jadi bisa beli barang yang benar-benar kubutuhkan.
Aku mulai menggunkan make-up, pelembab wajah yang bisa
mencerahkan kulit. Aku membeli berbagai produk yang kuanggap aman dan cocok
untuk kulitku dan aku menemukan kosmetik yang benar-benar aman untuk kulitku yang tak pernah pakai
kosmetik selain bedak bayi. Aku lebih rajin ibadah dan berpuasa untuk
mengontrol emosiku agar tidak cepat marah bila ada teman yang salah bicara.
Mencoba untuk selalu tersenyum bila bertemu dengan teman sekampus walau itu
tidak sekelas. Aku mulai menata bahasaku agar terlihat sopan. Aku ingat pada perkataan
salah seorang
Dosen Bahasa Indonesia “bila ingin berbahasa yang baik, coba
untuk mulai bahasamu dengan yang baik di manapan kamu berada. Biasakan berbahasa
yang baik kalau perlu terapkan secara murni bahasa Indonesia yang baik dan
benar dalam kehidupan sehari-hari”. Aku menerapkan hal itu dan benar saja...
semakin banyak teman-teman yang mau mendengarkanku. Malahan ada teman dari
jurusan lain yang minta belajar bahasa Indonesia denganku.
Setiap gaji yang kudapatkan tiap bulan, kusisihkan untuk
membeli baju baju baru. Memilih model pakaian sesuai dengan kepribadian. Simpel
dan santai. Baju baru memang memberi aura tersendiri dalam diri seseorang. Warnanya
yang masih terlihat cerah membuat si pemakai juga menjadi cerah dan bersih.
Tidak kusam apalagi cupu.
Disela-sela kau berteman dengan teman sekelasku. Mereka pun
mulai sadar akan perubahan dalam diriku yang tidak singkat memang... tapi
mereka mengakui. “atin yang sekarang beda ya... sama atin yang waktu pertama
kita ketemu. Sekarang lebih ceria trus lebih rapi lagi. Makin cantik”
alhamdulillah... dalam hati. Jadi cantik itu perjuangan. Itu adalah hasil yang
terpenting dalam hidup ini adalah proses menuju kesana. Perjalannan tidak
instan akan membawa kebanggaan hidup ini juga tidak instan tapi tetap bertahan
jangan sampai jatuh kelubang asal.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Foto wisuda adalah salah satu moment kebanggannku. Bagaimana
tidak, aku berjuang dan bekerja keras untuk perayaan itu. Aku rela meninggalkan
teman-temanku yang masih asyik dengan menikmati masa pacaran mereka, masa
bermain mereka dan masa-masa yang lainnya. Yang kipikirkan saat itu adalah aku
mau cepat-cepat selesai agar tidak menghabiskan uang orang tuaku lebih banyak
lagi. Kau tahu yang namanya kuliah itu dananya tidak sedikit. Ada dana
semester, ada dana ujian, ada dana pembuatan tugas, ada dana makan (jajan) di
kantin kampus, ada transportasi dan dana penampilan tentunya. Memikirkan itu
aku jadi sangat kasihan kepada mama yang lebih banyak membantu soal keuangan.

Butuh perjuangan keras untuk menyelesaikan skripsiku. Aku
harus mencari dosen yang mau membimbingku dan cocok karakternya denganku. Dosen
yang memahamiku aku mau isi skripsi yang bagaimana. Dosen itu harus peka, harus
mengetahui keinginan tulisanku namun tidak meninggalkan kaidah bahasa. Itu
tentu saja karena kau kan orang bahasa.
Kau tau dibalik senyum kebanggaan ada senyum kepahitan?
Ya... karena wisuda sendirian di jurusan, aku jadi bulan-bulanan alis bully
oleh teman-teman dari jurusan lain. Ada yang mengatakan aku tidak care, tidak peduli, tidak toleransi karena
teman-teman dikelas di tinggalkan dan tidak bersabar untuk wisuda bersama teman-teman,
ada yang bilang juga kenapa tidak mengambil sastra sunda aja biar gelar
kesarjanaannya doble. S. S. S. Sarjana Sastra Sunda. Yeah!
Aku senang karena seluruh keluargaku hadir dalam wisuda itu.
Aku senang orang yang spesialpun turut datang menyempatkan diri jauh-jauh dari
kota Cirebon demi menyaksikanku di wisuda. Namun ada satu yang membuat
kegetiran di hatiku hingga saat ini. Melihat foto itu tentu saja berbagai
pikiran muncul. Ternyata pada saat itu, bapak sudah memiliki wanita simpanan
yang menjadi duri dalam pernikahan antara bapak dengan mama. Mama yang tidak
mengetahui perihal itu. Senyum kepura-puraan diantara mereka. Sebenarnya di
hari H itu bapak bilang gak bisa pulang karena kerjaan banyak tapi mama
memaksa. ”masa anaknya diwisuda bapakya gak hadir. Kan masih punya bapak yang
sehat. Kasian anak” akhirnya bapak pulang. Dalam hati kami sekarang,
kemungkinan bapak gak bisa pulang kerumah karena harus pulang kerumah wanita
simpanannya itu ya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Foto pernikahanku adalah moment yang paling spesial dalam
hidupku. Karena akhirnya aku menikah karena sebelumnya aku berpikir ”apakah aku
bisa menikah? Apakah ada yang rela menikahi orang jelek seperti aku? Apakah ada
yang menyukaiku?” tapi ternyata teman dekat yang datang jauh-jauh dari Cirebon
itu benar-benar serius denganku hingga sabar menungguku bekerja terlebih dahulu
setelah diwisuda. Dialah yang sekarang menjadi suamiku. Perjuangannya harus aku
akui. Tanggungjawabnya sebagai laki-laki juga harus aku akui. Keseriusannya membina
hubungan baik juga harus aku akui. Dia bukan tipe main-main, dia bukan tipe bercanda-bercanda
apalagi bikin lelucon yang gak penting.

Senyumku bahagia namun dibalik kebahagian itu pedih yang
menyakitkan. Seminggu sebelum hari pernikahan aku mengantarkan undangan ke
teman-teman. Namun kejadian dirumah sangat memilukan. Mama mengetahui kenakalan
bapak. Mama mengetahui bahwa bapak punya wanita simpanan dan sudah menikah secara
siri selama 2 tahun. 2 tahun terakhir kehidupan bapak penuh kebohongan. Katanya
dapet uang dari kerjaan sedikit ternyata penghasilannya harus berbagi dengan
wanita lain.
Sakitnya hati mama yang dikhianati lantas tak membuat mama
kalah begitu saja. Mama mendatangi wanita itu dan minta agar memutuskan
hubungan siri mereka. Setelah itu mama pergi kerumah kakak di bogor, menginap
selama 2 hari 3 malam.
Aku sendirian dirumah. Mestinya si calon pengantin ini di
jaga emosinya. Mau jadi pengantin kan mestinya dilayani bak putri raja. Ya
luluran, ya pijat, ya ngaji yang banyak, ya di masakin. Bukan bikin sarapan
sendiri, bikin makan siang sendiri, gak enak makan, gak enak tidur, akhirnya
tepar. Masuk angin, flu, bukannya di lulurin malah dikerokin. Aduh aduh aduh
kasian banget ya. Mau menikah aja ujiannya segabreng.
Malam ketiga sebelum hari pernikahan. Tengah malam mama sama
bapak ribut. Mama nagis-nagis. Adikku yang cowok emosi tak terkendali.
Memecahkan barang-barang dikamarnya. Ikut nangis “bapak gak punya perasaan.
Selama ini anak ngalah sama bapak. Tapi apa yang bapak lakuin? Kalo bapak gak
pernah begitu. mba atin gak bakalan sedih. Kasian mba atin yang mau nikah tapi
ada kejadian kayak begini”. Mendengar namaku disebut aku langsung keluar kamar
dan memeluk adikku di ruang tengah. “mba atin gak pa pa kok. Mba atin sabar.
Dede jangan begini. Kalo dedebegini mba jadi sedih” sambil pegang gelas kaca
yang mau dibanting lagi. Aku menahannya agar dia tidak dibanting lagi gelas-gelas
itu. Cukup sudah beling berserakan
dilantai. Jangan sampai ada yang terluka kena beling. Cukup luka dihati saja
yang tak terlihat dan anggaplah semua baik-baik saja.
Kini aku menyadari semua senyuman itu. Senyuman diantara
semua foto senyumku. Yang terlihat diluar tidak seperti didalam. Apapun yang
terjadi didalam. Jangan sampai kau mengeluarkannya.